Senin, 31 Oktober 2011

senyumku memori terindah untuk selamanya

“Hujan” seakan menyambut langkahku yang baru pulang kuliah jam 7 malam tadi. Langsung aku membuka payung hijauku yang sangat ku sayang “ya karena dia satu-satunya miliku”. Setelah berpamitan dengan temanku yang beda jalur, akhirnya aku berjalan sendiri. Sungguh hari ini jalanan terasa sepi bagiku. aKu melewati gedung kosong yang telah lama ditinggalkan pemiliknya, sesosok gedung mewah yang kosong tanpa jiwa didalamnya. Tiba-tiba otak ini memerintahkanku untuk berhenti dari ayunan langkah yang telah membuat aku terlena dengan situasi sekitar yang tidak menghiraukan apapun selain “tujuan kostn”. aku berhenti, namun sosok mata ini menangkap Sesuatu, sesuatu yang terlihat ketika aku menoleh kesebuah jendela di rumah kosong itu dan melihat sesuatu bayangan yang tidak asing lagi bagiku. “Iya itu bayangan diriku”.

Aku mencoba berhenti beberapa saat supaya aku bisa melihat bayangan diriku dengan sangat jelas di jendela rumah itu “ya sosok wanita yang masih berpikiran seperti layaknya anak kecil, lumayan terlihat anggun dengan payung hijaunya” aku tersenyum kecil. namun tiba-tiba senyum itu langsung menghilang, dan sesuatu yang aneh mulai aku rasakan sungguh aku merasa aneh pada bayangan itu seakan sosok itu akan segera “hilang”.

Hilang, hilang dan hilang. Aku bertanya dalam hatiku dan perasaanku. “hilang seperti apa yang akan terjadi?” Hatiku seakan mengetahui kegelisahaan yang aku rasakan dan dalam hitungan detik aku mulai memahami jawaban hatiku “hilang selamanya” hatiku bergetar, rasa takut dan sedih mulai menjalar keseluruh tubuhku.

aku perhatikan sosok wajah dan bentuk tubuh itu “ya, dia tersenyum, dia terlihat anggun, dia sekan mimpi indah yang datang sebentar, yang sebenarnya tidak pernah ada dalam dunia ini, dia adalah memori dirimu bahwa dulu kamu pernah ada disini dan di dunia ini”.

“ya, setidaknya aku bahagia ketika melihat sosok wajah dan tubuhku di cermin itu, ketika aku melihat bayangan itu aku mulai teringat kenangan indah yang pernah aku rasakan. Aku tersenyum, hatiku bahagia, aku punya banyak kenangan yang indah bersama keluargaku, teman-temanku, dan orang-orang disekelilingku. Aku yang melihat diriku merasakan kebahagiaan yang sangat menyenangkan, liahtlah wajahku ayah, ibu, kakak, adik, teman-temanku, dan semua orang yang aku sayangi. aku simpan memori wajahku di foto yang kalian punya, aku simpan senyumku dalam foto itu. Aku harap kalian mengingat kenangan indah bersama ketika melihat foto diriku yang tersenyum gembira bersama kalian”

“berbahagialah, dan tersenyumlah untuk ku”

Akhirnya aku berhenti memandangi bayangan itu, dan memulai perjalanan menuju kostnku, terlintas Sesuatu dalam perjalanan itu

“perjalananku di sini mulai berhenti, waktuku menunjukan detik-detik terakhir, aku mengerti sekarang, dalam sisa waktuku sekarang aku harus bahagia dan terus bersama teman-temanku. Aku harus terus tersenyum dan tertawa. Iya aku harus tersenyum, tersenyum bahagia bersama mereka dan diriku”

Minggu, 30 Oktober 2011

berjuang, bertahan sampai gelar almh aku dapatkan

Berawal dari jam satu pagi semua rencana yang telah tersusun hancur berantakan. “Mengalah” iya kata yang tepat untuk semuanya. membiarkan Sesuatu yang telah lama tidak kurasakan menguasai tubuh ini. tanpa pertolongan tanpa bantuan ku berjuang sendiri, mencoba bangkit, mencoba melawan tapi aku tetap kalah.

“tidur, iya kata yang tepat untuk saat ini” ku coba memjamkan mata ini namun Sesutu yang mengalahkanku terlalu kuat, kebeningan organ pnglihatan yang sangat kusukai berubah menjadi sosok yang sangat menghawatirkan, mencoba memohon bantuanku namun aku tetap tidak bisa melawan.

Tubuhku tiba2 merasakan aliran panas namun aku coba merasakannya “tidak, tubuh ini terbujur kaku dingin”. Dentuman yang semakin kuat kini ku rasakan di kepalaku, “sudah lama aku tidak merasakannya” membuat aku semakin lemah tidak berdaya.

Setiap napas yang aku atur sedemikina rupa membuat dada ini makin sesak, kapasitas yang telah aku atur agar aku bertahan makin tidak terkendali, mereka menguasai organ ku yang lain, detuman kehidupan makin cepat aku rasakan, pukulan menyakitkan mulai aku rasakan di sekitar punggung ku.

Makin aku tidak berkutik melawan “dia”, meminta pertolongan? Ke siapa? Aku menyadari kini hidupku sendiri, aku bisa sendiri “iya, aku bisa”.

Teringat kembali air mata sosok yang aku sayangi, halusnya tangan mereka ketika mengusap kepalaku, keridhoan mereka menguras sesuatu yang telah mereka cari selama sebulan hanya untuk ku, kesembuhan ku, dan melihat canda tawa ku.

“tidak, aku tidak ingin mengulang moment itu kembali” ingin ku berteriak tapi pada siapa? Ingin ku menangis tapi pada siapa? Haruskah ku menurunkan ego ku untuk menghilangkan sosok yang menghancurkan diri ku? Bukan, bukan hanya diriku namun jasad dan jiwa orang yang kukasihi.

Berbaring diam, memikirkan sesuatu yang dapat mengalihkan pemikiranku, percuma jasad ini telah telalu kalah untuk terus berjuang.

Kelelahan yang timbul mulai membantuku melupakan hal yang menyakitkan tadi, senja mulai menunjukan parasnya, hangatnya mentari telah kurasakan dri sela jendela kamarku, dan aku mulai tersadar kembali “ya, kini aku hanya sendiri”.

Menatap langit kamar yang berwarna putih hanya dengan ukuran 4x3 meter mengingatkanku pada sesuatu yang telah aku ingat sebelumnya “ruang oprasi?”, “tidak, aku tidak ingin berakhir disana”. Melanjutkan perjuangan pada pagi hari bukan Sesutu yang mudah, semua mulai kembali pada titik awal. “Berjuang, melawan, dan bertahan” terus aku putar dalam ingatanku.

Berniatkan modal dan tekat, akhirnya aku putuskan untuk melawannya, kaki mulai aku langkahkan menuju pintu luar, namun tanpa aku duga pintu aku tutup dengan cepat, ku duduk dan mulai mengendalikan jasad ini lagi “aku tak bisa”, kucoba untuk yang kedua kalinya tetap tidak bisa. Dentuman kepala dan jantung mulai menyemangatiku seolah mereka merasakan hal yang sama denganku “ingin cepat keluar dari penderitaan ini”, namun mereka hanya mempersulit diriku apalagi ditambah alunan oksigen mualai mengalah dengan keadaan, sehingga mulai membutku ingin kembali berbaring.

“haruskah sesulit ini? haruskah ku mulai menekan tombol yang telah aku ingat diluar kepala hanya untuk menolongku? Haruskah aku melihat mereka panic karna diriku? TIDAK, sesuatu yang telah aku sembunyikan sekian lama tidak boleh terbongkar begitu saja”

Lima menit berlalu dengan pikiran yang melilit, “aku harus pergi, ya, pergi menuju sesuatu yang telah aku janjikan, aku harus tersenyum bersama mereka, aku harus acting, ya acting diriku sehat”.

Dentuman suara mobil kini yang aku rasakan, langkah kakiku telah membawa diriku padanya, “aku berhasil”. Namun jasadku mulai menunjukan kekalahan “aku drop, di sekeliling orang yang aku tidak mengenalnya sama sekali” keringat dingin mulai membajiri kaus specialku, “aku bingung, haruskah aku berbelok kembali? Namun tidak bagi otaku”.

“macet, ah macet” membuat kondisiku makin drop. Mataku mulai menunjukan keletihan, tubuhku mulai menunjukan kekalahannya, dan napasku mulai mendorongku agar aku mengalah.

Bukan karna tubuhku yang buat aku makin tersiksa, namun napas dan dentuman harmonica ini yang membuat aku makin lemah. “tidak, haruskah mereka mengalah secepat itu? Aku tetap harus bertahan”

“yes, aku menang, aku sampai namun skarang aku harus bagaimna? Memulai acting bahwa aku baik2 saja? Iya itulah yang tepat untuk saat ini” aku tersenyum dalam hati. Namun senyuman itu tidak berarti apa-apa, aku mulai drop kembali sehingga aku harus mengalah kembali. Akhirnya aku putuskan untuk duduk sampai acara selesai, dengan atraksi di depan yang memperlihatkan semua orang senang, aku malah tertunduk dan mulai merasakan “aku makin kalah”.

“rumah sakit hasan sadikin” kini bisikan itu mulai terdengar jelas, sosok teman yang telah aku nantikan akhirnya muncul, aku bingung harus kemana, akhirnya aku setuju untuk pergi ke sana, hatiku sakit bukan karena jasadku kalah. Namun karena “aku harus mengakui Sesutu yang telah lama aku sembunyikan, bahwa selama ini AKU SAKIT” membayangkan betapa khawatir dan tetesan air mata yang akan keluar dari kebeningan mata mereka selama ini, membayangkan senyuman berubah dengan khawatiran, kepercayaan berubah menjadi pengawasan. “aku tidak mau itu”.

Berbagai pemikiran telah aku pikirkan, rasa mulai berkecambuk dalam dadaku, sedih, marah, khawatir, mulai aku rasakan. Gerbang rumah sakit membuat aku semakin ingin berteriak dan berlari kebelakang menjauh dari sana.

Berputar sendirian tanpa peta di tanganku, makin membuat aku ingin berlari menuju pintu keluar, “ya pintu keluar”. Kutanyakan orang yang kutemui, tapi mereka malah menggiringku pada ruang class eksecutive yang serba mewah didalamnya dengan penjaga yang super ketat di depan lift, ruang tunggu yang nyaman, dan ruang penarikan tunai.

“aku mulai tersenyum sinis, apakah dengan pasilitas ini mereka yang tinggal di dalamnya akan betah? Atau Cuma perlarian dari masalah yang ada diluar sana sehingga menjadikan tempat ini hotel idaman?, atau mereka merasakan bahwa tempat ini penjara?” Entahlah yang jelas “AKU TIDAK INGIN MENGINAP DI SINI MESKIPUN CUMA SATU HARI”. Aku melangkahkan kakiku keluar, menemukan tempat keluar namun aku malah terjebak diruang basement yang penuh dengan trolli dan ambulance. Aku makin bergiding, dan mulai lari menuju tempat yang ingin aku tuju. “pintu keluar”

Satu hal yang telah aku yakini setelah menjelajah ditempat ini “aku tidak ingin berakhir di sini, aku kan berjuang sampai aku benar-benar kalah, dan aku tidak akan merasakan tempat tidur di sini jika aku masih bertahan”

Aku terus melangkah dan melangkah, mengikuti rute yang telah aku hapal sebelumnya, terikan matahari mulai mengejeku dan mengajaku untuk kalah. “tidak, mereka tidak boleh membuatku kalah”, dentuman kepala mulai aku rasakan kembali, napas yang berat mulai menggiringku pada kekalahan. Semua menjadi serba kuning, lingkungan mulai menertawaiku, memperjelas bahwa mereka menginginkanku untuk kalah.

Akhirnya pijakan langkah menuju kostn kini mulai terlihat jelas, namun akhirnya “aku kalah” aku mencoba duduk dan mencoba mengatur kembali kekuatanku untuk bertahan namun aku terlalu lemah, kini pikiran jahat mulai menguasaiku “aku harus mengaku kalah, aku harus meminta pertolongan, tapi haruskah aku benar2 kalah?” . akhirnya aKu putuskan untuk berobat ke puskesmas besok dan merahasiakan semuanya. “laporan? Ah, Aku lupa haruskah ku berbohong pada orang tuaku? Iya,” jawaban mantap telah aku peroleh.


“selagi aku masih bisa bertahan, aku akan bertahan, biarkanlah orangtuaku mengetahuinya setelah aku di wisuda dengan gelar “almh” yang akan aku sanding di akhir nanti, biarkanlah tangisanku dan kesakitanku hanya aku yang merasa asalkan aku bisa melihat senyuman kedua orangtuaku di bibir mereka, selalu, selalu, dan selalu”

boleh di coba

buruan daftar bakal dapat uang

Untung Beliung