Jumat, 04 November 2011

rintik hujan tegalega

Hujan turun merintik memadamkan semangat untuk pergi ke alun-alun hari ini, setelah dengan paksaan dan ingat tugas yang diberikan akhirnya berangkat juga menuju lokasi pukul 14.40 setelah sebelumnya mengambil payung dari kostn teman “akhirnya payung satu-satunya ini bisa kembali” setelah sang peminjam membiarkannya diam lama di kostn, “udah tahu musim hujan kenapa juga gak segera dikembalikan” gerutuku dalam hati. Sambil tersenyum terpaksa yang aku sungging d hadapnnya aku mulai melangkahkan kaki ku menuju lokasi damri, untunglah masih ada satu damri yang belum berangkat damri yang tercetak tebal dengan tulisan “kalapa-cibiru” dengan tekstur warna yang mencerminkan daerahnya “cibiru”.

Mulailah perjalanan pukul 14.50, sambil melirik hujan yang turun aku teringat bahwa hari ini projek pendidikan blum aku buat. Dengan selembar kertas HVS yang terselip di tas, aku mulai menuliskan poin-poin namun baru beberapa kalimat pikiranku sudah mulai teralihkan dengan pemandangan di depan “waduuuh, macetnya panjang banget” begitulah yang terlintas dalam pikiranku, rasa malas mulai tertawa kecil menggelitiki tubuhku supaya perjalanan tidak aku lanjutkan dan memulai berputar haluan menuju kostn yang nyaman.

Akhirnya kertas aku lipat dan pulpen aku simpan kembali, akhirnya pikiran dan pandanganku kembali teralih pada rintik hujan di jendela. Bus pun melaju perlahan menuju lokasi yang aku sudah paham tujuannya “alun-alun”. Tiba-tiba suara gadis kecil membuyarkan lamunanku “mah ini dimana?” celoteh anak kecil pada ibunya. “di jalan Jakarta” simple namun pasti jawaban sang ibu. “lho kita kan mau ke bandung kenapa ke Jakarta?” aku tertawa kecil mendengar celotehan anak itu, kulirikan pandangan ku pada 2 kursi di sampingku hanya untuk sekedar melihat gadis cilik dan ibunya itu, namun aku hanya melihat sunggingan senyum terlukis dibibir ibunya. “dasar anak kecil, untung aja bus ini tidak melewati jalan riau” hahahaha aku tersenyum geli pada diri ku.

Susana damri mulai kembali nyaman, dengan alunan suara deru mobil, dan gemericik air di jendela mobil membuatku kembali memfokuskan pikiran pada jendela. Akhirnya pukul 15.20 aku sampai pada tujuanku “mesjid alun-alun”. Dengan langkah semangat kulirik kanan, kiri, depan, dan setiap kursi taman, namun aku tidak menemukannya ‘dimana anak-anak tutorku, dimana yang lainnya, ah gini nih kalau datangnya terlambat” gerutuku dalam hati. Kutelusuri setiap teras, kulirikan mataku menuju dalam mesjid, tetapi mereka tidak ada. Akhirnya aku sms nomor yang aku tahu pasti akan membantu, dan akhirnya aku tahu mereka pindah ke “tegalega”.

Keberuntungan datang padaku, setelah kebingungan yang sempat terlintas dalam pikiran tentang “jalan tegalega” yang belum pernah aku datangi sebelumnya, datanglah sms, “hayu bareng, teteh ada di parkiran” senyumku mulai mengembang, tanpa pikir panjang ku langkahkan kakiku menuju lokasi dan akhirnya ketemu dengan sang penyelamat yang sedang melambaikan tangannya padaku.

Berangkatlah menuju lokasi yang sebenarnya, dengan seuntai obrolan yang seru, akhirnya lokasi aku temui. Dengan memantapkan langkah aku berjalan menghampiri mereka dan ternyata seperti biasa mereka menyambutku dengan “hangat”, “ih senangnya dech pikir ku dalam hati.

Tampa kukira sebelumnya aku bertemu kembali dengan dua orang sosok yang pernah aku jumpai sebelumnya, ya itu dewi dan dea, mereka adalah anak jalanan yang pernah ikuta waktu anggota k-pad baksos dilembang. ‘ih, kangen dech ma mereka” kini senyum terlukis dalam wajahku. mereka melangkahkan kakinya padaku dan tersenyum padaku “teteh, em, nama teteh teh??? itu reni, eh lina, eh rere” kulirik mereka dan mencoba mengganggu konsentrasinya “hayoooo, siapa??? Masa sih lupa”, “hehehe” sunggingan senyum kecil mereka tujuan buatku.

Akhirnya wajah polos mereka membuatku luluh juga, kubuka tas dan kuambil name-teg yang sengaja aku bawa, kupasang di jaket sebelah kiriku mereka tersenyum “oh iya, teh leni” akhirnya mereka mengingat diriku. “herliana, herlini, eh herlina” celetuk yang lain melengkapi namaku.

Kebingungan mulai menghinggapiku lagi, kulihat sekeliling hanya ada lapangan terbuka dengan tugu di tengahnya dan pepohonan yang mengelilingi jalanan setapak di setiap pinggirnya mengingatkanku pada mahkota raja yang hanya punya seikat rambut ditengahnya. Kulirik lagi dan ternyata aku memang tidak melihat lokasi yang tepat untuk tempat belajar, selain lapangan terbuka dengan rintikan hujan diatasnya persis sekuntum bunga yang sengaja ditaburkan dilapangan itu, kulirik lagi pada mereka dan ternyata mereka malah mengejekku dengan pikiran yang sebaliknya “ah udah biasa teh hujan mh, hayu di tengah we belajarnya” malu bercampur heran aku lupa kalau mereka merupakan anak yang terlatih dengan kehidupan yang keras, sehingga hujan rintik tidak akan memadamkan motivasi mereka untuk belajar.

Teriakanku mulai terdengar kembali ketika aku menginstruksikan mereka untuk berkumpul di lapangan tengah, dan itu tidak hanya sekali tapi beberapa kali tapi anehnya suaraku tidak pernah habis untuk bersuara. Mualailah aku membagi mereka menjadi 2 kelompok, “kelompok bisa baca, dan kelompok tidak bisa baca” dengan hitungan detik mereka menyebutkan jumlah mereka satu persatu, keluarlah singgungan kecil dan tawaan yang membuatku dan mereka bahagia.

“kelompok bisa baca” begitulah tugas yang aku sanggupi, dengan jabatan PJ (penanggung jawab) aku mulai memberi mereka intruksi, spidol dan penghapus yang aku sengaja bawa dari kostn terpaksa harus aku berikan pada mentoring “belajar membaca”, “lagian kelompokku kan bisa baca paling tinggal di suruh baca” dengan cuek aku memberikan spidol dan penghapusnya.

Bingung iya, harus mulai dengan apa? Pikiranku bingung. Dengan iseng aku buka buku bacaan yang aku bawa, serentak mereka berebut untuk membacanya, ku suruh mereka maju satu persatu dan ternyata mereka memang bisa membaca namun tidak lancar. Kini tibalah giliran “dea” penyanyi cilik jalanan yang hobi nyanyi. Namun bacaannya banyak yang salah dan jika dia menemukan huruf konsonan yang bersebelahan, kata itu menjadi beda makna. Seperti “penerbitan” entah jadi apa dia baca yang jelas bukan jadi penerbitan.

Games ke dua dimulai, aku bacakan satu persatu huruf sperti “g-a-r-i-s” mereka menjawab dengan betul dan pasti, aku coba memberinya dua kata seperi “n-e-n-e-k l-a-m-p-i-r” mereka malah termenung dan diam seribu bahasa namun akhirnya salah seorang dari mereka menjawab depannya kemudian seseorang menjawab belakangnya dan mualailah suara nyaringan ketawa mereka dan diriku keluar membentuk alunan yang senada. “ya, kami bahagia”

Tidak berhenti disana sambil menunggu buku yang sedang diambil di alun-alun, kami akhirnya memutuskan untuk main game “Vs” yaitu game yang terdiri dari dua kelompok, setiap kelompok 4 orang, setiap orang aku instruksikan untuk mengalahkan tim lawannya dengan kewajiban menjawab kata yang dieja oleh lawan kelompok. Game berjalan dengan seru, namun akhirnya kami ketawa kembali ketika mereka memberikan ejaan huruf yang dia sendiri tidak mengeri artinya.

Berbicara dan membaca telah kami lakukan, akhirnya aku putuskan kini bagian menulis, aku buka gulungan yang tadi terlipat bersih dan membaginya dengan garis tengah. Kini mereka sibuk menuliskan nama mereka sendiri, namun teriakan tertawa mulai kembali terdengar ketika “bagas” menuliskan namanya dengan bagas eli bukan bagas lem.

Sore akhirnya mulai datang, gemuruh adzan magrib tinggal beberapa menit, dalam sisa itu aku berikan waktu untuk mereka membaca, aku buka buku bacaan yang dikasihkan sebelumnya kepadaku, tanpa ragu aku berikan pada mereka dan seperti biasa respon mereka saling berebut untuk membaca.

Adzan mulai berkumandang, namun secara mendadak datanglah yang lain dengan membawa perlengkapan, salah satunya perlengkapan kesehatan seperti perban dan obat luka. Datang juga beberapa geng tipar yang terkenal gila abis sama aksi ngibulnya “termasuk diriku”, kami saling tertawa bersama, dengan menjadikan mascot bully kami bahan ejekan lagi seperti di tipar santolo dulu (tanggal 21-23 oktober 2011).

Suasana riang kembali muncul, rasa penat tidak aku rasakan sama sekali, lapar tidak terbesit dalam pikiranku saat itu, namun harus aku akhiri ketika aku ingat waktu shalat magrib telah berkumandang beberapa menit yang lalu. Aku menghentikan ketertawaan itu, segera aku melangkahkan kakiku mencari mesjid yang terdekat, aku melangkah pada pintu gerbang terdekat ternyata telah ditutup, aku berbelok pada bangunan kecil bertuliskan “mushola” namun terkunci seperti tidak pernah terpakai. Akhirnya aku putuskan memutar jalan menuju gerbang yang lain, dan akhirnya ditengah perjalanan teman-teman yang bawa motor melaju menujuku tanpa aba-aba lagi aku ikut dengan salah satu dari mereka dan melajulah menuju mesjid agung alun-alun.

Pukul 18.30 aku menjalankan shalat magrib sendirian, tanpa ada yang menemaniku karena mereka langsung menuju daerha ciateul, fahira tempat anak-anak jalanan mentoringku tinggal. Entah seperti apa tempatnya tanpa aku tahu karena aku harus memutuskan pulang ke kostanku di cibiru.

Semua serba membingungkan, daerah ciateul yang tidak aku tahu dan kini damri yang menuju ke tujuanku tidak muncul lagi. Ketika aku Tanya pada orang yang biasa aku Tanya dulu mengenai bus dia malah menjawabnya dengan ketus “gak tahu neng, petugasnya juga gak ada, mereka gak kesini lagi mungkin karena macet”, gerutu orang itu. Aku terdiam karena aku menyadari mungkin bapak itu lagi emosi karena tempat jualannya harus pindah sementara entah karena halte mau dibenarkan entah mau dibongkar yang jelas aku tadi melihat orang yang sedang membongkar atap halte itu.

Tanpa pikir panjang lagi aku lirikan mataku menuju angkot dan secara kebetulan munculah angkot tujuanku “caheum-cileunyi”, “lho harusnyakan kalapa-caheum?” aku terheran, namun aku putuskan untuk menaiki itu. Angkot itu lumayan kosong hanya ada dua laki-laki yang dihadapanku, rasa takut bercampur curiga mulai memenuhi otaku laki-laki yang duduk dihadapanku melihatiku dengan pandangan mencurigakan, tanpa aba-aba lagi aku memutuskan turun, dan lari dengan langkah seribu menuju masjid agung.

Kuatur nafasku, dan kurebahkan tubuhku dengan bersandar pada tiang penjaga masjid dihadapanku. Namun aku terkesima melihat beberapa sosok yang tidak aku kenal melintasku dan memoto beberapa pedagang yang disekelilingku. “Mereka orang arab, dan banyak yang bercadar” tatapanku tidak berpaling dari mereka. Aku berdiri dan mulai melangkahkan kakiku menuju halte kembali, namun kini bukan hanya orang arab yang aku temui tapi bule Australia, “wow” takjubku pada mereka “emang sekarang saatnya bertamasya ke bandung ya?” tanyaku dalam hati.

Kembali aku putuskan untuk pulang, dengan melalui jalan memutar ku stop mobil hijau itu. Meskipun penuh dan aku harus duduk pinggir pintu masuk, namun aku tenang karena orang yang didalamnya tidak memiliki wajah mencurigakan malahan wajah asing dari papua entah dari mana.

Tas jinjing berisi notebook, penampilan dengan rambut ikal, mereka saling berbicara dengan bahasanya yang tidak aku mengerti tapi aku tahu mereka pasti sedang membicarakan merek notebook karena aku mengetahui satu merek yang mereka sebutkan dan tidak asing ditelingaku “accer”.

Aku terlelap tidur dalam angkot itu, semakin mereka berbicara semakin ngantuk mataku, akhirnya aku tertidur dan terbangun ketika tujuan akhirku telah sampai batasnya “cibiru”. (pukul 20.50)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

boleh di coba

buruan daftar bakal dapat uang

Untung Beliung